Sukses

Fashion

Globalisasi Kain Lokal

Vemale.com - Sebagai wanita modern yang hidup di era globalisasi, perputaran tren fashion yang dinamis kerap menuntut Anda untuk memiliki koleksi pakaian yang bervariasi. Selain penutup tubuh, pakaian merupakan bentuk komunikasi instan dimana Anda dapat menyampaikan pesan berupa simbol identitas serta karakter diri, dan hal ini sudah terjadi sejak zaman dahulu. Tidak hanya dalam pemilihan siluet desain atau warna, namun penentuan material juga menjadi salah satu aspek penting dalam proses komunikasi ini. Sebut saja para raja dan putri keraton dengan keberagaman motif batik yang indah sebagai lambang status mereka. Atau cara penilaian seorang gadis saat dilamar oleh pria di Sumatera berdasarkan hasil tenunannya, yang dimana menggambarkan ketekunan serta strata sosial sang perempuan. Seorang penulis Rooslila Tahir dalam bukunya Catatan yang Tercecer mengungkapkan bahwa kain Indonesia pada awalnya dapat dibagi berdasarkan cara pemakaiannya. Bisa menjadi kain dengan atasan kebaya, kain dengan atasan baju kurung (panjang) dan kain dengan atasan kemben. Di samping batik yang memang telah diakui dunia, Indonesia juga memiliki kain tenun yang menjadi kekayaan dan refleksi jati diri bangsa. Tenun merupakan hasil karya berupa kain yang dibuat dengan benang dan dimasukkan ke dalam pakan pada alat yang disebut lungsin. Dan tenun masih terbagi lagi menjadi songket, yang merupakan tenun dengan benang emas atau perak, kemudian ada ikat, dobel ikat, dan pakan. Adapun transformasi desain kini dialami secara signifikan oleh kain Indonesia termasuk tenun di saat sekarang. Hal yang berbeda dialami kain India yang mengalami stagnasi. Melihat dari segi bisnis pun, kain Indonesia selain sebagai kekayaan bangsa yang membanggakan juga mampu membuka lahan pekerjaan bagi banyak kalangan, terutama di daerah pedalaman. Hal ini bisa dilihat seperti di kabupaten Lingga, di Provinsi Kepulauan Riau. Peninggalan sejarah Tudung Manto dan Batik Lingga menjadi warisan yang kini dikembangkan. Berbagai terobosan pun dilakukan dalam hal desain, warna maupun jenis bahan yang nyaman seperti polyester (chiffon) hingga ornamen yang disematkan. Dan hingga tahun 2007, adapun jumlah penenun yang turun tangan telah sebanyak 45 orang, terdiri dari para ibu rumah tangga dan remaja putus sekolah, yang awalnya hanya tersisa tiga orang. Menapaki Dunia Nilai ke-Indonesia-an memang merupakan salah satu poin yang perlu diperhatikan oleh kain tenun saat ini. Hal ini terkait beberapa pakem desain yang memang selayaknya tidak berubah saat dikonstruksi. Di balik itu juga pemerintah berencana untuk meregulasikan ketentuan dalam meletakkan nama Indonesia bagi para label internasional yang memang bekerja sama degan pengrajin, seperti yang pernah diungkapkan MS Hidayat, Menteri Perindustrian. Ada pun beberapa brand yang sempat membuat pamor tenun menjadi pembicaraan dunia mode seperti: Gucci, ETRO atau Dries Van Noten. Peran desainer lokal sendiri turut memegang kendali dalam menggeloranya tren tenun, seperti Priyo Oktaviano dengan Bali of Arc di Paris pada September 2009. Deden Siswanto pun turut menggebrak aksi tenun pada ajang Miss World 2010, dimana Asyifa Syafiningdyah, finalis dari Indonesia mengenakan busana rancangan desainer asal kota Bandung yang bermaterial tenun Bali. Masih ada lagi, Chossy Latu memilih tenun Palembang untuk show di Mumbai, sementara Denny Wirawan dengan kain Sulawesi Tenggara (Palembang) untuk pagelaran di Dubai setahun yang lalu. Hingga pada Agustus tahun lalu, Ibu Negara, Hj Ani Bambang Yudhoyono meluncurkan buku bertajuk Tenun: Handwoven Textile Indonesia, sebagai wujud pengenalan tenun sebagai salah satu warisan budaya bangsa. Dan ke depannya diharapkan tenun dapat menyusul kesuksesan batik dalam meraih pengakuan dari UNESCO. Great! Realisasi Angan Cosmo pun sempat berbincang singkat dengan Ghea Panggabean untuk mengulas kain Indonesia. Wanita yang sudah 31 tahun berkarya di kancah fashion tanah air ini memang selalu konsisten dalam membawa kain Indonesia hingga terlihat fashionable dan tetap trendi. Seperti yang dilakukannya tahun lalu dalam membawa kekayaan bangsa tersebut hingga Monte Carlo, Italia dan Malaysia. Sebuah garis desain yang klasik, timeless ala Ghea memanglah sudah diakui oleh banyak kalangan. Adapun keinginannya kini untuk lebih dapat mengekspos wilayah Sumatera dengan songket dan limarnya. Namun terkadang hambatan seperti bahan baku dan stok benang yang terbatas harus tetap dihadapi. Menjadikan kain Indonesia untuk tetap lestari pun dilakukannya kini dengan memberikan pengarahan kepada para pengerajin dalam basis tren dan penyesuaian warna yang lebih selektif, agar tetap terlihat memukau. Mimpi terus bergulir untuk menyukseskan tenun Indonesia ke mata dunia, dan ini menuntut dukungan besar dari berbagai kalangan. Seperti yang dilakukan oleh para sosialita yang mencoba mengangkat komunitas pecinta kain seperti; Cita Tenun Indonesia, Yayasan Sulam Indonesia, Rumah Pesona Kain hingga Himpunan Ratna Busana. Merajut ide dalam harapan besar. Di sanalah nanti tenun akan menyulam cita rasa dunia fashion internasional. [initial] Source: Cosmopolitan Edisi April 2011, Halaman 104 Provided by:
(Cosmo/miw)

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

    What's On Fimela
    Loading